Artikel Sastera: Kesusasteraan Melayu: Jalan ke Danau Berkilau 12/07/2008
Oleh Dato Dr. KEMALA, Sarjana Tamu Fakulti Bahasa Modern dan Komunikasi Universiti Putra Malaysia. Email: akmaljiwa@yahoo. com
Abdul Samad Said, Shahnon Ahmad dan Arena Wati: Ketegaran Cerita Pendek dan Novel Melayu Malaysia
Selepas Keris Mas, A.Samad Said, Shahnon Ahmad dan Arena Wati dapat dianggap menjulangkan pencapaian novel Melayu mutakhir. A. Teeuw pernah menamakan novel Salina oleh A.Samad Said dan Lingkaran oleh Arena Wati mencapai tingkat internasional. A. Teeuw dalam sebuah prasarannya di Universiti Malaya pada awal 1960-an memberikan kritiknya yang tajam terhadap prosa Angkatan 50 yang diketuai oleh Keris Mas sebagai cerita yang ditangkap oleh kamera murah (cine camera).
Kedalaman perwatakan kurang meyakinkan, hanya dilukiskan secara hitam putih, pergerakan cerita dan pelukisan alam dan konflik kurang berkesan. Tetapi ini lain lagi yang didapatinya apabila berhadapan dengan watak dan perwatakan yang mewarnai Salina oleh A.Samad Said. Perwatakannya hidup dan persoalan kemanusiaannya yang dibawa oleh Salina, Zulfakar, Nahidah dan Hilmi berdarah dan berdaging. Konfliknya ternyata menarik minat dan rfelevan jika dibandingkan dengan novel-novel barat yang kontemporer.
Bayangkan sahaja Salina dihasilkan oleh A.Samad Said yang baru berusia 20 tahun ketika itu, dia menjadi Kerani (clerk) di sebuah Hospital di Singapura. Setting atau lokasi tempat cerita berlaku adalah di Kampung Kambing, di mana Salina seorang pelacur tinggal bersama kekasihnya Zulfakar. Salina selalu diteror oleh kekasihnya itu. Tetapi dia simpatik kepada Hilmi dan ibunya yang miskin. Hilmi sedang belajar di sekolah Inggeris. Salina membantu dua beranak itu termasuk beaya sekolah Hilmi. Cerita ini berlaku di era Perang Dunia Kedua – pesawat perang Jepang membantai Kota singapura dengan ratusan bom. Mereka para watak itu, India, Melayu, Cina, Benggali, senasib yang miskin dan hina dina berlindung di dalam kubu atau yang mereka sebut shelter. Zulfakar terus memeras Salina dan pada satu kesempatan menodai kesucian Nahidah.
Novel yang tebal inilah yang dihargai oleh A.Teeuw tentang kejujuran, keuniversalan dan versalitet A.Samad Said mempertajam kemampuannya. Tetapi bagi Keris Mas, A.Samad Said jelas ekor kepada Asas 50 yang katanya ikut “mendukung cita-cita Angkatan Sasterawan 50 yang menurutnya ikut “mendukung cita-cita Asas 50, kerakyatjelataannya , mendukung cita-cita kemanusiaannya, menentang kebejatan moral dan sosial – mangsa keadaan yang diakibatkan oleh perang dan penjajahan.” Kreativitas A.Samad Said kian hidup selepas ini dengan novel-novel dalam bahasa Melayu seperti Hujan Pagi dan Daerah Zeni yang mencoba menukilkan alira magico-surrealisme yang dikembangkan oleh pengarang Latin-Amerika Gabriel Garcia Marquez dalam One Hundred Years of Solitude dan Love In The Time of Cholera.
Karya ini mendapat sambutan yang baik dari kalangan kritikawan Malaysia dan pengkaji luar. Magico-surrealism ini turut digarap dalam teater T-Pinki yang memenangkan Hadiah Sastra Perdana karena keunikan dan kekejapan ceritanya. Naskah drama ini sudah dipentaskan seperti juga puisi Al-Amin turut diadaptasi ke pentas. Kehadiran Arena Wati yang memfokus dunia pelaut sebagai tema induknya juga ikut membuka tabir baru, Lingkaran sebuah cerita antar-etnik yang saling ingin menjatuhkan agar “kuasa” yang berada di tangan Melayu itu mesti direbut dan sengkokolan antara dua etnik lainnya, digambarkan melalui permainan catur dan juga pakatan-pakatan dalam pelayaran. Selepas novel ini, Arena Wati menghasilkan sekurang-kurangnya enam novel “besar” yang ,mendapat sambutan pembaca tempatan antaranya Armageddon, Sebuah Trilogi Tiga Genre.
Shahnon Ahmad, yang juga profesor emeritus takdapat dilupakan dengan mahakryanya Ranjau Sepanjang Jalan yang menggali ke in ti umbi kemiskinan petani Jeha dan Lahuma dan keluarganya. Padinya yang sedang menanti masak, itu tiba-tiba diserang oleh ketam berjuta-juta dan memusnahkan padi sebendang dan Lahuma menderita ditusuk duri kakinya oleh duri nibung hingga membusuk. Dan Jeha berkorban jiwa raga merawat penyakit Lahuma yang gawat itu. Novel Ranjau Sepanjang Jalan ini diterjemah ke bahasa Inggeris oleh Adibah Amin dengan judul No Harvest But A Thorn diangkat sebagai salah sebuah antara 10 novel terbaik di Sydney, Australia pada 1980-an. Kalau begitu novel Melayu pernah sampai ke “Danau yang berkilau” itu. Novel ini juga pernah diterjemah ke beberapa bahasa dunia seperti Sweedish, China, Spanish, French, Russia dan lain-lain.
Selain Keris Mas yang bagus cerita pendeknya, Shahnon juga terbilang dengan cerpennya yang membawa citra kasih sayang dan makna kekeluargaan di desa Banggul Derdap yakni cerita keluarganya, ibunya, bapanya, adiknya, Pak Long, Mak Long dan suku sakatnya yang lain dirangkai menjadi kisah yang meangasyikkan. dialog secara kekampungan, pekat dengan dialek Sik di kedah, kita hanya dapat dibantu oleh glosari yang disispkan bagi memahami kan aliran ceritanya: “Al”, “Kalau Ibu sampai Takah Tiga”, “Babi”, “Miting Lagi” antatanya yang kekal dalam ingatan saya. Ada novelnya yang menggarap desa kelahirannya di Banggul Derdap adalah Srengenge dan dua buah novel puitisnya Embun dan Mahabbah,
Novel terakhir ini idealisme kepada halihwal hubungan hamba dengan al_Khaliqnya. Sebagai kolumnis di Dewan Sastera saban bulan Shahnon Ahmad memberikan pencerahan kepada oersoalan di kitaran kreativitas dan memasuki hemisfera mancanegara sama ada di Latin amerika, mahupun di Eropah, di Asia Timur. Semangat yang dilontarkan oleh tiga tokoh pengarang Melayuyang sudah diangkat menjadi Sastrawan Negara Malaysia ini. amatlah mengagumkan. Novel-novel Shahnon, Arena Wati dan a.Samad Said saya yakin mendapat sambutan bukan sahaja di Malaysia tetapi juga di Brunei Darussalam, Singapura dan Selatan Thailand. Karya mereka tidak syak lagi menjadi bahan kajian pada peringkat Universitas loka dan internasional.
Ada dua nama sastrawan Negara Malaysia Noordin Hassan dan S.Othman kelantan juga dala kekhasan persoalannya. Noordin Hassan dikenal dengan teater surealistik seperti Bukan Lalalng diTiup angin yang membawa peralihan menarik dari aspek teaterikal dan musikalitas yang mengadun pengaruh lagu alunan Melayu tradisi dari Utara Semenanjung iaitu dari Pulau Pinang, Kedah dan Perlis. Selepas ini Noordin menggarap tema Islami dengan Teater Fitrah dengan 1400 Hijrah dan Jangan Bunuh Rama-rama dan Cindai. Adalah tipikal teater Noordin mengaun musikal dan berakhir dengan tragedi. S. Othman Kelantanmendalami ikli sosio-politik- ekonomi di kelantan. Juara, angin Timur Laut dan Kota Baru memberikan wawasan tentang kehidupan di negeri Melayu yang masih mempertahankan nilai-nilai ytadisi dan kesenian dan maruah yang dipandang amat sensitive. Harga diri adalah sesuatu yang dipandang tinggi. Tanpa mempertahankannya apabila tercabar, individu itu tak berarti, nah tunggulah bicara pembunuhanyang menyerang apabila tiba malam gelap dengan senjata yang bernama “Kapak Siam” kapak kecil yang amat tajam dan membunuh
Walaupun ada gedebe dan dahulunya ada Taman Biaritz Park, dan melihat ribuan para ibu menjajakan kuih muih dan sayur mayur atau barang kemas di Pasar Khadijah di sisi pasar tersebut, namun tempat anak-anak muda dan “orangtua” yang masih muda batinnya berhibur dan berjoget dan berjudi secara iseng-isengan tetapi kelantan selalu dikenal dengan panggilan “Serambi Mekah”. alim ulama dan pahlawan terpandang yangdilahirkannya sejak dahulu seperti Tuk Janggut, Tuk Kenali, Kadir Adabi, Zaki Yaakub dan kini Datuk Haji Nik Aziz selalu menyebabkan anak-anak Kelantan terinspirasi, tawaduk dan kangen dengan semangat kealiman dan kepahlawanannya. Dan kini ramai calon pemimpin dan intelektual putra-putri Kelantan meramaikan institusi penting di Kuala Lumpur. S. Othman Kelantan maklum hal ini dan dia sudahpun mewakili dunianya yang eksotis itu.
Sebelum Danau Berkilau Marilah Mengakrabi
Tokoh-tokoh Kreatif Melayu Baru
Walaupun ada persoalan “Bangun” dan “jatuh” dalam percaturan kesusastraan nasional di Malaysia akibat persoalan ekonomi lebih penting dari seni budaya – lalu diutamakan ekonomi global. Jalan singkat untuk ini difikirkan, nah sains dan matematika dan bahasa Inggeris diutamakan, bahasa Melayu, setengah padampun tidak mengapa. Ini eksperimen nasional, maka mulailah! Walaupun ada teriakan dan ratapan, tapi kuping pemimpin menulikan rasa khidmat protes para sastrawan, pemimpin budayawan. Satu jalan praktis mnggiatkan dengan lebih rancak lagi berlipat kali ganda aktivitas budaya dan kesusastraan.
Eksperimen yang tidak mengenal diri dan jati diri, sahsiah dan sebagainya tentu akan tertumbuk ke krikil masalah. Nah, kalau tidak percaya tunggulah, masalah itu akan melingkari selingkar kedaulatan bahasa dan sastera ibunda. dia akan dilontarkan ke pinggir. Tetapi sebelum itu mari kita mengakrabi suara batiniah Faisal Tehrani, SM Zakir, Nisah Haji Haron, Mawar Shafie, Zainal Rashid Ahmad, Muhd Nasruddin Dasuki, Azman Ismail, Siti Aminah Mokhtar, Nazmi Yaacob dan Amaruzzati Abdul Rahim. Mereka sedang “menjadi” dan sedang di perjalanan mencari “Danau Berkilau” masing-masing. Apabila Kesusasteraan Melayu sudah mereka hayati dan menjadi sebagian keperluan hidupnya, jangan bimbang mereka akan sampai ke Gunung tempat Usman Awang berdiri, ke Desa Jaya tempat Shahnon Ahmad menapak keunggulan dan kepasrahannya. Tidak ada “kematian” bagi bakal sastrawan yang sudah jitu semangatnya. yang ada hanyalah ketabahan, kecekalan dan pemaknaan eksistensisebagai pewaris bagi kesusastraan Melayu Baru. Mereka pasti akan menemukan Danau Berkilau itu. Insya Allah.
Disampaikan makalah ini pada Pesta Penyair Nusantara 2008 di Universitas Kadiri, Kediri Surabaya Indonesia pada 1 Juli 2008.
Artikel Sastera: Siapa Pengarang Generasi Baru oleh Muhd Faizal Said Oleh: MOHD. FAISAL SAID (BH 28/1/99)
Belum ada jawapan yang khusus bagi menerangkan siapakah sebenarnya pengarang generasi baru. Sememangnya sukar untuk membuat satu kesimpulan yang tepat apatah lagi kajian mengenainya amat berkurangan. Pendapat yang ada juga agak kabur dan banyak pertentangan di antara pendapat itu sendiri. Marsli NO misalnya menggariskan kelompok ini sebagai golongan penulis yang lahir selepas merdeka dan berusia sekitar 40-an atau kurang. Antara lain beliau membariskan Zaen Kasturi, Daeng Ramli Akil, S.M Zakir, Mohd Nasruddin Dasuki, Azmah Nordin dan beliau sendiri, di samping penulis-penulis yang lebih muda seperti Mawar Shafie, Faisal Tehrani, Hizairi Othman, Uthaya Sankar SB dan juga Nisah Hj Haron.
Dengan kata lain, Marsli NO menggariskan pengarang generasi baru sebagai pengarang yang aktif berkarya di sekitar 1980-an dan 1990-an serta hadir dengan gaya dan teknik berbeza dalam mengangkat sesuatu subjek di dalam karyanya. Pengarang-pengarang ini menurutnya, tidak lagi terkongkong di bawah panji realisme sebaliknya melakukan transformasi dari aliran lain seperti surealisme, absurdisme dan neo-realisme (Berita Harian, 8 Oktober 1998).
S. M. Zakir (seperti yang dipetik daripada Tesis M.A. Maharam Mamat, 1998) pula memecahkan pengarang generasi baru kepada dua kelompok utama iaitu penulis yang muncul dengan gaya non-konvensional pada awal tahun 1990-an dan pengarang muda yang bermula dengan karya-karya berbentuk remaja. Kelompok pertama diwakili oleh Zaen Kasturi, Marsli N.O, Daeng Ramli Akil dan S. M. Zakir. Karya-karya yang dihasilkan oleh pengarang-pengarang kelompok ini lebih cenderung kepada yang berbentuk berat, abstrak dan eksperimental.
Kelompok kedua pula adalah pengarang-pengarang muda yang diketengahkan bakatnya daripada Minggu Penulis Remaja, Dewan Bahasa dan Pustaka dan penuntut-penuntut lepasan institut pengajian tinggi. Antara yang sering mendapat tempat di dalam akhbar dan majalah (sastera dan umum) ialah Hizairi Othman, Mawar Shafie, Nisah Haji Haron, Faisal Tehrani dan Uthaya Shankar S.B. Mereka ini kemudiannya meninggalkan karya-karya berbentuk remaja dan mula melakukan banyak pembaharuan dalam penulisan, sesuai dengan latar pendidikan yang mereka terima.
Bagi Faisal Tehrani pula, kelompok Marsli NO (penulis 1980-an) sama sekali tidak boleh dibabitkan dengan penulis “Angkatan 1990-an”. Menurutnya, karya-karya penulis generasi 1990-an lebih sederhana dan tidak terlalu peribadi sifatnya. Karya yang mereka hasilkan juga diimbangi dengan ilmu bantu dan tidak terlalu dirasuk oleh jampi absurdisme dan serapah eksperimental melulu (Dewan Sastera, Mac 1998).
Secara peribadi, saya bersetuju dengan pandangan S. M. Zakir dan Faisal Tehrani. Pendapat kedua-dua pengarang ini ternyata tidak boleh diremeh dan diperlecehkan. Ada semacam kebenaran daripada apa yang mereka perkatakan tentang dua kelompok yang wujud dalam kumpulan generasi baru ini. Apabila ditelusuri dengan lebih rinci ternyata memang wujud perbezaan antara karya yang dihasilkan kelompok Marsli NO dan kelompok yang diistilahkan Faisal Tehrani sebagai Angkatan 1990-an.
Karya-karya pengarang seangkatan Marsli N.O. kelihatan lebih bereksperimen, bersifat ‘sukar-berat’ dan memerlukan sedikit masa untuk memahaminya. Ini terbukti dalam kumpulan cerpen mereka yang sarat dengan muatan falsafah, permainan imaginasi dan alam fikir serta penilaian semula mitos dan sejarah (mungkin tidak melampau jika dikatakan wujudnya unsus-unsur absurd), seperti yang terkandung dalam Korporat (Daeng Ramli Akil), Yuda (Zaen Kasturi), Biduan (Marsli N.O.) dan Merengkuh Langit (S.M. Zakir). Golongan ini juga lebih berani melakukan percubaan, memasuki dunia tanpa latar fizik dan menerapkan aliran kesedaran yang kadang kala di luar logik.
Karya-karya pengarang 1990-an pula kelihatannya lebih bersifat sederhana seperti yang terhidang dalam kumpulan cerpen Siru Kambam (Uthaya Sankar S.B.), Lading Masih Di Tangan (Nisah Hj Haron), Zel (Mawar Shafie), Suami, Lelaki, &… (Hizairi Othman), dan Sehari Dalam Perang (Faisal Tehrani) serta cerpen-cerpen lain. Karya-karya hasil tangan mereka agak lebih mudah disantap khalayak kerana bahan penceritaan mereka tertumpu pada isu-isu semasa, di samping teknik pengolahan yang tidak terlalu individualistik.
Di samping itu, karya-karya hasil tangan pengarang mutakhir ini kelihatannya lebih bersifat realisme. Mereka menggambarkan keadaan semasa masyarakat dengan sebaik-baiknya mengikut gaya dan pendekatan mereka yang berbeza dan bersifat tersendiri. Karya-karya yang mereka hasilkan lebih bersifat realistik dan berpijak di alam nyata. Apa yang mereka bicarakan adalah cerminan pada isu-isu dan persoalan-persoalan yang sentiasa bergejolak dalam masyarakat, sesuai dengan sensitiviti seorang pengarang yang seharusnya peka terhadap persekitaran.
Contoh yang paling jelas adalah cerpen-cerpen hasil tangan Faisal Tehrani, Mawar Shafie, Uthaya Sankar SB dan Hizairi Othman. Kalaupun wujud unsur-unsur absurd dalam karya mereka, sifatnya tidak melampau dan karya tersebut masih mampu dimamah khalayak dengan baik. Misalnya cerpen “Yang Aneh-Aneh” oleh Uthaya Sankar SB, walaupun ada unsur-unsur absurd tetapi masih boleh dinikmati.
Selain itu, karya Angkatan 1990-an kental dengan penggunaan ilmu-ilmu bantu bagi memperkukuhkan muatan karya. Mereka tidak lagi membicarakan tema-tema yang klise tetapi mula melangkah ke hadapan dengan memperkatakan isu-isu yang lebih global dan menyangkut bidang-bidang di luar sastera seperti teknologi maklumat, ekologi, geografi, geologi falsafah, undang-undang, politik antarabangsa dan sebagainya.
Walaupun kehadiran ilmu-ilmu bantu dalam genre cereka (novel dan cerpen) bukanlah sesuatu yang baru, tetapi pendekatan kelompok ini tetap berbeza dengan pengarang-pengarang terdahulu. Sebelum ini, ilmu-ilmu bantu hanya disisipkan dalam karya sebagai satu alternatif untuk menghidangkan ilmu-ilmu di luar bidang sastera di samping hiburan untuk dimanfaatkan khalayak. Bagi pengarang-pengarang generasi baru pula, ilmu-ilmu bantu bukan lagi sekadar sisipan tetapi menjadi bahan utama penceritaan. Fudzail misalnya, acap kali menyajikan khalayak dengan kisah alam siber dan sains komputer melalui cerpen-cerpennya, seperti yang boleh dilihat dalam “Kiamat”, “www.gosip.com.my”, “Agenda” dan “Khemah Penggodaman”.
Mungkin ada yang bertanya, apakah kewajaran persoalan ini ditimbulkan? Saya sebenarnya lebih melihat kesan kepada khalayak sekiranya Angkatan 1990-an terus dilabelkan sebagai sealiran dengan kelompok Marsli NO. Khalayak sastera sudahpun diasuh (mungkin oleh pengkritik-pengkritik) untuk terus menganggap karya-karya hasil tangan pengarang generasi baru sebagai sukar difahami, walaupun sebelum berusaha menikmatinya. Bertitik tolak dari ini, ada kemungkinan khalayak akan mengenepikan karya-karya pengarang generasi baru yang tersiar di akhbar-akhbar dan majalah-majalah tanpa mengira pengarang mana yang menghasilkannya.
Bagi saya ini adalah kerugian yang amat besar kerana karya-karya pengarang Angkatan 1990-an mengutarakan persoalan-persoalan semasa dan terkini serta kental dengan pengetahuan berguna yang boleh dimanfaatkan khalayak. Menekuni cerpen-cerpen Faisal Tehrani misalnya, akan membantu khalayak untuk mengetahui tentang gerakan Yahudi serta penindasan terhadap orang Islam yang sedang berlaku di mana-mana sekarang. Meladeni cerpen-cerpen Fudzail pula, khalayak akan diajar tentang ilmu-ilmu komputer serta didedahkan pada alam siber yang penuh dengan keasyikan.
Kesemua ini hanya akan diperolehi khalayak sekiranya karya-karya Angkatan 90-an dinikmati sewajarnya. Tetapi hakikat sebenarnya tidak begitu. Karya-karya hasil tangan pengarang yang terkelompok dalam pengarang generasi baru selalunya diketepikan khalayak walaupun karya-karya yang ‘sukar berat’ itu datangnya dari dua atau tiga pengarang sahaja.
Faktor inilah yang memanggil saya untuk menegaskan bahawa karya-karya yang dihasilkan pengarang dekad mutakhir atau Angkatan 90-an adalah berbeza dengan karya-karya kelompok 1980-an. Mungkinkah sudah wujud generasi baru dalam dunia kesusasteraan tanah air? Saya belum berani untuk mengesahkan kenyataan itu tetapi kemungkinannya dirasakan sudah ada!
Isnin, 2009 Mei 25
Dengan kata lain, Marsli NO menggariskan pengarang generasi baru sebagai pengarang yang aktif berkarya di sekitar 1980-an dan 1990-an serta hadir dengan gaya dan teknik berbeza dalam mengangkat sesuatu subjek di dalam karyanya. Pengarang-pengarang ini menurutnya, tidak lagi terkongkong di bawah panji realisme sebaliknya melakukan transformasi dari aliran lain seperti surealisme, absurdisme dan neo-realisme (Berita Harian, 8 Oktober 1998).
S. M. Zakir (seperti yang dipetik daripada Tesis M.A. Maharam Mamat, 1998) pula memecahkan pengarang generasi baru kepada dua kelompok utama iaitu penulis yang muncul dengan gaya non-konvensional pada awal tahun 1990-an dan pengarang muda yang bermula dengan karya-karya berbentuk remaja. Kelompok pertama diwakili oleh Zaen Kasturi, Marsli N.O, Daeng Ramli Akil dan S. M. Zakir. Karya-karya yang dihasilkan oleh pengarang-pengarang kelompok ini lebih cenderung kepada yang berbentuk berat, abstrak dan eksperimental.
Kelompok kedua pula adalah pengarang-pengarang muda yang diketengahkan bakatnya daripada Minggu Penulis Remaja, Dewan Bahasa dan Pustaka dan penuntut-penuntut lepasan institut pengajian tinggi. Antara yang sering mendapat tempat di dalam akhbar dan majalah (sastera dan umum) ialah Hizairi Othman, Mawar Shafie, Nisah Haji Haron, Faisal Tehrani dan Uthaya Shankar S.B. Mereka ini kemudiannya meninggalkan karya-karya berbentuk remaja dan mula melakukan banyak pembaharuan dalam penulisan, sesuai dengan latar pendidikan yang mereka terima.
Bagi Faisal Tehrani pula, kelompok Marsli NO (penulis 1980-an) sama sekali tidak boleh dibabitkan dengan penulis “Angkatan 1990-an”. Menurutnya, karya-karya penulis generasi 1990-an lebih sederhana dan tidak terlalu peribadi sifatnya. Karya yang mereka hasilkan juga diimbangi dengan ilmu bantu dan tidak terlalu dirasuk oleh jampi absurdisme dan serapah eksperimental melulu (Dewan Sastera, Mac 1998).
Secara peribadi, saya bersetuju dengan pandangan S. M. Zakir dan Faisal Tehrani. Pendapat kedua-dua pengarang ini ternyata tidak boleh diremeh dan diperlecehkan. Ada semacam kebenaran daripada apa yang mereka perkatakan tentang dua kelompok yang wujud dalam kumpulan generasi baru ini. Apabila ditelusuri dengan lebih rinci ternyata memang wujud perbezaan antara karya yang dihasilkan kelompok Marsli NO dan kelompok yang diistilahkan Faisal Tehrani sebagai Angkatan 1990-an.
Karya-karya pengarang seangkatan Marsli N.O. kelihatan lebih bereksperimen, bersifat ‘sukar-berat’ dan memerlukan sedikit masa untuk memahaminya. Ini terbukti dalam kumpulan cerpen mereka yang sarat dengan muatan falsafah, permainan imaginasi dan alam fikir serta penilaian semula mitos dan sejarah (mungkin tidak melampau jika dikatakan wujudnya unsus-unsur absurd), seperti yang terkandung dalam Korporat (Daeng Ramli Akil), Yuda (Zaen Kasturi), Biduan (Marsli N.O.) dan Merengkuh Langit (S.M. Zakir). Golongan ini juga lebih berani melakukan percubaan, memasuki dunia tanpa latar fizik dan menerapkan aliran kesedaran yang kadang kala di luar logik.
Karya-karya pengarang 1990-an pula kelihatannya lebih bersifat sederhana seperti yang terhidang dalam kumpulan cerpen Siru Kambam (Uthaya Sankar S.B.), Lading Masih Di Tangan (Nisah Hj Haron), Zel (Mawar Shafie), Suami, Lelaki, &… (Hizairi Othman), dan Sehari Dalam Perang (Faisal Tehrani) serta cerpen-cerpen lain. Karya-karya hasil tangan mereka agak lebih mudah disantap khalayak kerana bahan penceritaan mereka tertumpu pada isu-isu semasa, di samping teknik pengolahan yang tidak terlalu individualistik.
Di samping itu, karya-karya hasil tangan pengarang mutakhir ini kelihatannya lebih bersifat realisme. Mereka menggambarkan keadaan semasa masyarakat dengan sebaik-baiknya mengikut gaya dan pendekatan mereka yang berbeza dan bersifat tersendiri. Karya-karya yang mereka hasilkan lebih bersifat realistik dan berpijak di alam nyata. Apa yang mereka bicarakan adalah cerminan pada isu-isu dan persoalan-persoalan yang sentiasa bergejolak dalam masyarakat, sesuai dengan sensitiviti seorang pengarang yang seharusnya peka terhadap persekitaran.
Contoh yang paling jelas adalah cerpen-cerpen hasil tangan Faisal Tehrani, Mawar Shafie, Uthaya Sankar SB dan Hizairi Othman. Kalaupun wujud unsur-unsur absurd dalam karya mereka, sifatnya tidak melampau dan karya tersebut masih mampu dimamah khalayak dengan baik. Misalnya cerpen “Yang Aneh-Aneh” oleh Uthaya Sankar SB, walaupun ada unsur-unsur absurd tetapi masih boleh dinikmati.
Selain itu, karya Angkatan 1990-an kental dengan penggunaan ilmu-ilmu bantu bagi memperkukuhkan muatan karya. Mereka tidak lagi membicarakan tema-tema yang klise tetapi mula melangkah ke hadapan dengan memperkatakan isu-isu yang lebih global dan menyangkut bidang-bidang di luar sastera seperti teknologi maklumat, ekologi, geografi, geologi falsafah, undang-undang, politik antarabangsa dan sebagainya.
Walaupun kehadiran ilmu-ilmu bantu dalam genre cereka (novel dan cerpen) bukanlah sesuatu yang baru, tetapi pendekatan kelompok ini tetap berbeza dengan pengarang-pengarang terdahulu. Sebelum ini, ilmu-ilmu bantu hanya disisipkan dalam karya sebagai satu alternatif untuk menghidangkan ilmu-ilmu di luar bidang sastera di samping hiburan untuk dimanfaatkan khalayak. Bagi pengarang-pengarang generasi baru pula, ilmu-ilmu bantu bukan lagi sekadar sisipan tetapi menjadi bahan utama penceritaan. Fudzail misalnya, acap kali menyajikan khalayak dengan kisah alam siber dan sains komputer melalui cerpen-cerpennya, seperti yang boleh dilihat dalam “Kiamat”, “www.gosip.com.my”, “Agenda” dan “Khemah Penggodaman”.
Mungkin ada yang bertanya, apakah kewajaran persoalan ini ditimbulkan? Saya sebenarnya lebih melihat kesan kepada khalayak sekiranya Angkatan 1990-an terus dilabelkan sebagai sealiran dengan kelompok Marsli NO. Khalayak sastera sudahpun diasuh (mungkin oleh pengkritik-pengkritik) untuk terus menganggap karya-karya hasil tangan pengarang generasi baru sebagai sukar difahami, walaupun sebelum berusaha menikmatinya. Bertitik tolak dari ini, ada kemungkinan khalayak akan mengenepikan karya-karya pengarang generasi baru yang tersiar di akhbar-akhbar dan majalah-majalah tanpa mengira pengarang mana yang menghasilkannya.
Bagi saya ini adalah kerugian yang amat besar kerana karya-karya pengarang Angkatan 1990-an mengutarakan persoalan-persoalan semasa dan terkini serta kental dengan pengetahuan berguna yang boleh dimanfaatkan khalayak. Menekuni cerpen-cerpen Faisal Tehrani misalnya, akan membantu khalayak untuk mengetahui tentang gerakan Yahudi serta penindasan terhadap orang Islam yang sedang berlaku di mana-mana sekarang. Meladeni cerpen-cerpen Fudzail pula, khalayak akan diajar tentang ilmu-ilmu komputer serta didedahkan pada alam siber yang penuh dengan keasyikan.
Kesemua ini hanya akan diperolehi khalayak sekiranya karya-karya Angkatan 90-an dinikmati sewajarnya. Tetapi hakikat sebenarnya tidak begitu. Karya-karya hasil tangan pengarang yang terkelompok dalam pengarang generasi baru selalunya diketepikan khalayak walaupun karya-karya yang ‘sukar berat’ itu datangnya dari dua atau tiga pengarang sahaja.
Faktor inilah yang memanggil saya untuk menegaskan bahawa karya-karya yang dihasilkan pengarang dekad mutakhir atau Angkatan 90-an adalah berbeza dengan karya-karya kelompok 1980-an. Mungkinkah sudah wujud generasi baru dalam dunia kesusasteraan tanah air? Saya belum berani untuk mengesahkan kenyataan itu tetapi kemungkinannya dirasakan sudah ada!
Isnin, 2009 Mei 25
Laporan Sayembara Pengarang Sempena Sambutan Jubli Emas DBP OLEH ZALILA SHARIF
- Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), telah menganjurkan Sayembara Mengarang Sempena Sambutan Jubli Emas DBP dalam genre novel, cerpen, puisi, skrip drama, dan novel remaja. Sayembara ini diadakan dengan tujuan untuk menggalakkan golongan sasterawan dan penulis tanah air menghasilkan karya yang menggarap persoalan masyarakat Malaysia yang membangun dan berdaya saing, liberal, progresif, aman damai dan dipandang tinggi oleh negara luar dari dahulu, sekarang dan pada masa hadapan.
Dari segi tema pula, sayembara ini terbahagi kepada dua kelompok iaitu novel dewasa, novel remaja dan skrip drama, dan kelompok kedua ialah cerpen dan puisi. Tema untuk kelompok yang pertama ialah karya mestilah menggambarkan sebuah masyarakat yang kaya dengan budaya dan adat resam masyarakat Malaysia yang mempunyai nilai-nilai moral dan etika yang tinggi sebagai memenuhi satu daripada cabaran Wawasan 2020. Dewan Bahasa dan Pustaka telah menerima sebanyak 559 karya iaitu 424 puisi, 87 novel, 59 novel remaja, 42 skrip drama, dan 160 cerpen untuk dinilai. Setelah melalui proses penilaian, sebanyak 53 buah karya telah dipilih untuk diberi hadiah, iaitu 10 buah manuskrip novel, 7 buah manuskrip novel remaja, 10 buah skrip drama pentas, 13 cerpen dan 13 puisi. Senarai pemenang adalah seperti berikut:
1. NOVEL DEWASA
i. Hadiah Pertama (RM50 000.00)
“Bedar Sukma Bisu” - karya Mohd. Faizal bin Musa
ii. Hadiah Kedua (RM40 000.00)
“Harga Sebuah Maruah” – karya Azizi bin Haji Abdullah
iii. Hadiah Ketiga (RM30 000.00)
“Mahabbah” – karya Dato’ Profesor Emeritus Haji Shahnon Ahmad
iv. Hadiah Sagu Hati (RM10 000.00)
“Anak Ruma’ Kadang” – karya Mohamad Faizal bin Jamil
“Bulan dan Mentari” – karya Zaharah Nawawi
“Kabun di Perbukitan” – karya Mohamad Khalid bin Hamzah
“Kembali Sebutir Mutiara” – karya Noraini bt. Osman @ Noorainie bt. Othman
“Langit Angsana” – karya Muhd. Nasruddin bin Muhd. Dasuki
“Menara” – karya Nasrudin Mohammed
“Ombak Bukan Penghalang” – Osman bin Ayob
***sumber dari http://muhdnasruddin.wordpress.com/laporan-sayembara-pengarang-sempena-sambutan-jubli-emas-dbp/***